Selasa, 29 November 2011

GANGGUAN TIDUR LANSIA

KLASIFIKASI GANGGUAN TIDUR PADA LANSIA
I. Gangguan tidur primer
Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini dibagi dua yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan tidur-bangun. Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritmik sirkadian tidur, dan isomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007196


II. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain
Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I atau II.
III. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum
Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur-bangun.
IV. Gangguan tidur akibat zat
Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk medikasi). Penilaian sistematik terhadap seseorang yang mengalami keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik, gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau medikasi yang digunakan, perlu dilakukan
STADIUM TIDUR NORMAL PADA DEWASA
Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.

Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.

Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini
menduduki sekitar 50% total tidur.

Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.

Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 197

Gangguan Tidur Lanjut Usia atau hilang. Tekanan darah dan nafas meningkat. Pada pria terjadi ereksi penis. Pada tidur REM terdapat mimpi-mimpi. Fase ini menggunakan sekitar 20%-25% waktu tidur. Ratensi REM sekitar 70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi, gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek. Sebagian tidur delta (NREM) terjadi pada separuh awal malam dan tidur REM pada separuh malam menjelang pagi.
Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal dimensi psikologik dan fisiologik. Tidur REM dikaitkan dengan mimpi-mimpi sedangkan tidur NREM dengan pikiran abstrak. Fungsi otonom bervariasi pada tidur REM tetapi lambat atau menetap pada tidur NREM. Jadi, tidur dimulai pada stadium 1, masuk ke stadium 2, 3, dan 4. Kemudian kembali ke stadium 2 dan akhirnya masuk ke periode REM 1, biasanya berlangsung 70-90 menit setelah onset. Pergantian siklus dari NREM ke siklus REM biasanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM meningkat menjelang pagi 2.
Kondisi tidur siang hari dapat dinilai dengan multiple sleep latency test (MSLT). Subyek diminta untuk berbaring di ruangan gelap dan tidak boleh menahan kantuknya. Tes ini diulang beberapa kali (lima kali pada siang hari). Latensi tidur yaitu waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur.Waktu ini diukur untuk masing-masing tes dan digunakan sebagai indeks fisiologik tidur. Kebalikan dari MSLT yaitu maintenance of wakefulness test (MWT). Subyek ditempatkan di dalam ruangan yang tenang, lampu suram, dan diinstruksikan untuk tetap terbangun. Tes ini juga diulang beberapa kali. Latensi tidur diukur sebagai indeks kemampuan individu untuk mempertahankan tetap bangun.

Beberapa terminologi standar ukuran polisomnografi
1. Kontinuitas tidur yaitu keseimbangan antara tidur dengan bangun selama satu malam. Kontinuitas tidur dikatakan baik bila tidur lebih banyak daripada bangun dan dikatakan buruk bila tidur sering terinterupsi atau terbangun. Ukuran kontinuitas tidur yang spesifik adalah latensi tidur (jumlah waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur, biasanya dihitung dalam menit). Terbangun intermiten yaitu jumlah waktu terbangun setelah onset tidur (dalam menit).
2. Efisiensi tidur yaitu rasio antara waktu sebenarnya yang digunakan untuk tidur dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur - diukur dalam persentase. Angka tinggi menunjukkan efisiensi tidur baik.
3. Arsitektur tidur yaitu jumlah dan distribusi stadium tidur. Ukurannya adalah jumlah absolut tidur REM dan masing-masing tidur NREM, dihitung dalam menit. Tidur manusia bervariasi sepanjang kehidupannya. Pada anak-anak dan remaja awal, jumlah tidur gelombang lambat relatif stabil. Kontinuitas dan dalamnya tidur berkurang setelah dewasa. Pengurangan tersebut ditandai dengan peningkatan frekuensi bangun, tidur stadium 1, serta penurunan stadium 3 dan 4. Oleh karena itu, usia harus dipertimbangkan dalam
mendiagnosis gangguan tidur. Siklus sirkadian tidur-bangun dapat mempengaruhi fungsi neuroendokrin misalnya sekresi kortisol, melatonin, dan hormon pertumbuhan. Pada dewasa normal, temperatur tubuh juga mengikuti ritme sirkadian; puncaknya pada sore hari dan paling rendah pada malam hari. Gangguan siklus temperatur dikaitkan dengan insomnia. Umur, pola tidur premorbid, dan status kesehatan secara umum mempengaruhi tidur. Apabila dibandingkan dengan tidur subyek dengan usia muda, tidur lansia kurang dalam, lebih sering terbangun, tidur delta berkurang, dan tidurnya tidak efektif. Mengantuk di siang hari sering terjadi pada lansia. Keadaan ini dapat mempengaruhi jadual tidur-bangunnya di malam hari. Walaupun demikian, beberapa individu memang mempunyai durasi tidur lebih pendek atau kebutuhan tidurnya lebih sedikit. Individu ini tidak mempunyai keluhan susah masuk tidur dan tidak ada tanda-tanda khas insomnia seperti sering terbangun, letih, susah konsentrasi, dan iritabilitas. Fungsi siang harinya tidak terganggu meskipun ia tidur kurang dari tujuh jam
Gangguan Tidur Lanjut Usia tidurnya. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium 4, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari. Dengan perkataan lain, bertambahnya umur juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang.
Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan berkurang 2.

HIGIENE TIDUR PADA LANSIA
Gangguan tidur dapat berbentuk buruknya higiene tidur dan gangguan tidur spesifik. Evaluasi keluhan tidur lansia hendaklah selalu dilakukan. Keluhan tidur hendaknya jangan diabaikan meskipun mereka sudah tua. Buruknya higiene tidur dapat disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap tidur atau jadual tidur. Akibatnya, lansia sering menghabiskan waktunya di tempat tidur atau sebentar-sebantar tertidur di siang hari.

CHECKLIST HIGIENE TIDUR
Tidur bangun
Waktu tidur yang tidak teratur menunjukkan adanya gangguan ritmik sirkadian tidur. Pemanjangan latensi tidur menunjukkan adanya ketegangan atau kecemasan sehingga terjadi insomnia. Peningkatan frekuensi dan durasi terbangun di malam hari dikaitkan dengan nokturia, kejang otot kaki, pernafasan pendek, dan kecemasan. Terbangun dini hari atau memanjangnya durasi tidur dapat menunjukkan depresi. Peningkatan frekuensi dan durasi mengantuk di siang hari menunjukkan tidak adekuatnya tidur di malam hari. Pasien mesti didorong untuk mengatur dan mengurangi waktunya di tempat tidur. Selain itu, pasien mesti didorong untuk lebih aktif di siang hari (fisik dan sosial).
Lingkungan
Suara gaduh, cahaya, dan temperatur dapat mengganggu tidur. Lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungannya. Penggunaan tutup telinga dan tutup mata dapat mengurangi pengaruh buruk lingkungan. Temperatur dan alas tidur yang tidak nyaman juga dapat mengganggu tidur. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik di tempat tidur juga harus dihindari misalnya makan, menonton TV, dan memecahkan masalah-masalah serius. Faktor-faktor ini mesti dievaluasi ketika berhadapan dengan lansia yang mengalami gangguan tidur. Lansia mesti dianjurkan untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur.
Diet dan Penggunaan obat
Minum kopi, teh, dan soda, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu tidur. Alkohol dapat mempercepat onset tidur tetapi beberapa jam kemudian pasien kembali tidak bisa tidur. Obat-obat tidur atau obat-obat yang diresepkan untuk gangguan kondisi medik dapat kadang-kadang dapat mengganggu tidur. Pengaruhnya dapat terjadi secara berangsur-angsur setelah beberapa lama menggunakan obat tersebut. Pasien dianjurkan untuk mengurangi atau mengubah jam-jam penggunaan obat atau diet yang dapat mempengaruhi tidur.
Hal-hal Umum
Edukasi tentang tidur malam perlu diberikan kepada lansia. Pasien dianjurkan untuk membuat kontak sosial dan aktivitas fisik secara teratur di siang hari. Pasien harus pula dibantu untuk kenghilangkan kecemasannya. Membaca sampai mengantuk merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan yang mengganggu tidur 1,2
.
Gangguan tidur pada lansia
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia.
INSOMNIA PRIMER
Ditandai dengan:
· Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 199
· Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya.
· Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental lainnya.
· Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap tidak segar meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur, makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan.
INSOMNIA KRONIK
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur.
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa kasus, penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3 
DAFTAR PUSTAKA
·        Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
·        SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
·        www.google.com (online) diakses pada tanggal 26 Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar